logo

logo smk
Dehumanisasi Pendidikan

SMK Muhammadiyah 5 Surakarta - Pergeseran Paradigma Pendidikan

Pendidikan Wajib belajar dua belas tahun bagi anak Indonesia dituntut  untuk melaksanakan kewajiban belajar diruang-ruang yang penuh dengan tekanan formalistik  dan administratif . mereka terkurung pada lembaran kertas yang menumpuk. Otak mereka dipaksa untuk menjawab butiran-butiran soal hanya untuk mengetahui kadar nilai bodoh dan pintar , lulus dan tidak lulus dan sejauh perjalanan mereka belajar di bangku sekolah akan dibayarkan dengan selembar kertas yang bernama Ijazah, sebagai bentuk pernah bersekolah. Mari merenung sejenak dan bertanya pada diri kita masing-masing, apakah  tujuan belajar sesungguhnya disekolah atau dikampus ? mendapatkan selember Ijazah, predikat cumlode , karir dengan pundian gaji puluhan bahkan ratusan juta , mendapatkan pasangan lalu punya anak. Hanya sebatas itukah potret belajar dibangku sekolah dan kampus. Sadar atau tidak pada diri kita masing-masing, pendidikan yang selama kita tempuh sebagian besar membentuk siklus kehidupan dan pikiran yang stagnan, monoton dan hedonis pada kesuksesan masing-masing. Inilah tantangan terberat pendidikan Indonesia,  hanya memiliki visioner pemerataan pendidikan , tidak di imbangi pertimbangan mutu. Akibat itu, sistem pendidikan Indonesia hanya memproduksi manusia untuk menjadi konsumen industri pabrik,instansi pemerintah dan konsumen elit kapitalis global. Maka tepat apa yang di refleksikan oleh paulo Freire bahwa dunia pendidikan mengalami pergeseran makna menjadi dehumanisasi Pendidikan , dimana hak-hak asasi mereka dinistakan,mereka dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam kebudayaan bisu ( sumberged in the culture of silence), yaitu mereka dibungkam dari proses kebebasan kreatifitas berpikir dan dijauhkan dari nilai-nilai kritis transformasi sosial masyrakat dan mereka tidak sadarkan diri,sedang menjadi korban sistem pendidikan otoriter atau dikenal dengan istilah “ Banking Education”.

Matinya kepakaran di era Disrupsi

Fenomena disrupsi menggambarkan situasi dan kondisi dimana pergerakan dunai industri atau persaingan semakin sengit . perubahan terjadi sangat cepat,fundamental dan mengacak berbagai sendi tatanan lama untuk melahirkan tatanan baru, dalam segala hal, bisa pendidikan,bisnis,perbankan,transportasi sampai pada tatanan kehidupan sosial masyarakat. Sebagai contoh, Misalnya MOOC (Massive Open Online Course dan  AI (Artificial Intelligence). MOOC adalah inovasi pembelajaran daring yang dirancang terbuka, dapat saling berbagi dan saling terhubung atau berjejaring satu sama lain. Prinsip ini menandai dimulainya demokratisasi pengetahuan yang menciptakan kesempatan bagi kita untuk memanfaatkan dunia teknologi dengan produktif. Sedangkan  AL (Artificial Intelligence)adalah mesin kecerdasan buatan yang dirancang untuk melakukan pekerjaan yang spesifik dalam membantu keseharian manusia. Di bidang pendidikan, AI akan membantu pembelajaran yang bersifat individual. Hadirnya berbagai terobosan baru dalam teknologi dan internet semakin canggih, membuat kegandrungan pada masyarakat menjadi literasi Instan ,dimana semua kebutuhan manusia dalam segala hal ada pada genggaman internet. Kehadiran akademisi atau intelektual tidak terlalu penting bagi mereka implikasi terkecil adalah buku menjadi tidak penting,minat membeli dan membaca buku ,bukan menjadi prioritas utama mendapatkan sumber informasi pengetahuan. Karena pengetahuan cukup dari google. 

Dampak itulah yang akan menjadi matinya kepakaran . dan pada akhirnya genarasi  menjadi miskin kreatifitas,miskin inovasi dan miskin narasi. Dan inilah beberapa bukti penelitian literasi di Indonesia, Penelitian UNESCO mengenai minat baca pada tahun 2014 lagi-lagi menyebutkan bahwa anak-anak Indonesia membaca hanya 27 halaman buku dalam satu tahun. Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai minat membaca dan menonton anak-anak Indonesia, yang terakhir kali dilakukan pada tahun 2012. Dikatakan, hanya 17,66% anak-anak Indonesia yang memiliki minat baca. Sementara, yang memiliki minat menonton mencapai 91,67%

Dalam pendidikan Freire , kesadaran kritis ( critical consciousness) lebih dimaknai  pada kesadaran membaca keadaan dengan melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Bentuk penyadaran ini bisa dilakukan melalui etos kosmopolitan,dibangun melalui 4C (Critical Thinking,Creative,Collaboration,Communication . bisa juga dengan Pendidikan liberal art , pendidikan yang memberikan pengetahuan umum secara menyeluruh serta mengembangkan kemampuan intelektual untuk bisa beradaptasi dipersaingan dunia industri .karena pendidikan ini tidak terpaku pada subjek serta keahlian spesifik , tapi menyeluruh (holistik). Menyimak berbagai realitas konkret pendidikan dan literasi di Indonesia,masih banyak kesenjangan yang harus di refleksikan secara kritis. Oleh karena itu untuk membebaskan diri dari pendidikan otoriter dan meningkatkan daya literasi yang kuat , diperlukan pendidikan berkesadaran dengan memberikan ruang terbuka untuk melakukan dialog kritis,kreatifitas tanpa batas dan refleksi kritis transformasi sosial masyarakat dengan gerakan berbasis konseptual,kritis dan reflektif.