logo

logo smk
Redefinisi Tauhid Untuk Menciptakan Perdamaian Majemuk

SMK Muhammadiyah 5 Surakarta-Teologi tidak hanya berbicara tentang bagaimana Tuhan mengatur kehidupan di dunia dari singgasananya, tapi juga merupakan suatu pandangan yang universal tentang paradigma kehidupan manusia secara eksistensial serta antroposentris. Islam adalah agama tauhid, oleh karena itu islam mengandung pengakuan tentang keesaan Allah Swt absolut. Ajaran tauhid sudah dimulai sejak nabi Adam as, namun bukti dalam fakta sejarah yang kuat ajaran tauhid ini diawali dari nabi Ibrahim as.

                Tauhid secara definisi umum dipahami sebagai ajaran monotheisme yang mengajarkan hanya menyakini dan beribadah pada satu realitas Dzat yang sejati. Jika tauhid hanya dipahami secara terbatas, maka bentuk ajaran yang sangat esensial ini tidak akan bermakna bagi kehidupan manusia. Pengaplikasian ajaran tauhid hanya akan berkutat seputar keyakinan keesaan tanpa terintegrasi dengan kehidupan. Selama memiliki keyakinan kepada Dzat yang maha esa, maka ajaran tauhid sudah diterapkan dengan baik dan hanya berdampak secara an sich, tanpa memperdulikan apa yang terjadi dengan kehidupan manusia. Seperti ini kurang lebih yang terjadi, jika tauhid dipahami dengan terbatas keesaan Dzat saja.

                Nabi dan Rasul utusan Allah Swt tidak hanya mengemban misi untuk menghancurkan bentuk-bentuk kebatilan, tetapi juga memberikan suatu bentuk lain yang lebih baik. Seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim melancarkan revolusi akal lewat ajaran tauhidnya untuk menggeser ajaran mitos pagan. Musa merefleksikan revolusi pembebasan melawan otoritarianisme, Isa merfleksikan revolusi ruh melawan dominasi materialisme. Muhammad sebagai khatamul anbiya’ membebaskan kaum tertindas dari para penguasa, mengajarkan kemanusiaan, persamaan derajat atau egaliter, toleransi terhadap umat beragama dan menegakkan persaudaran di antara sesama umat manusia. Dengan demikian, semua agama tidak hanya islam mengimplementasikan ajarannya sebagai norma kebenaran universal yang mengutamakan keadilan dan kepentingan sosial. Sejarah ini membuktikan bahwa ajaran dalam agama yang paling mendasar yakni ketahuidan, langsung bersinggungan dengan kehidupan manusia.

                Dapat diketahui bahwa berbagai ajaran kebaikan (tauhid) telah diajarkan sejak lama. Ajaran kebaikan tersebut terdapat dalam setiap agama yang dibawakan oleh para nabi dan rasul pada jaman dahulu kala, namun kenapa diera sekarang ini, yang segalanya sudah maju masih sering terjadi problematika yang fundamental. Seperti permasalahan tentang isu SARA masih menjadi bahan wajib setiap tahun di Indonesia. Contoh kekerasan yang di alami masyarakat Papua selama bertahun-tahun, konflik golongan agama, yang paling favorit ialah penggunaan agama dalam politik praktis dan yang terbaru adalah kasus rasisme yang terjadi kepada pegiat Hak Asasi Manusia. Lantas bagaimana bangsa ini bisa maju jika stamina sumber daya manusianya dihabiskan untuk membahas masalah-masalah mendasar.

                Sudah menjadi pengetahuan umum bahwasanya menjadi penganut sebuah agama atau kepercayaan adalah kebebasan bagi setiap individu, ditambah lagi kebebasan ini mendapatkan perlindungan dari negara. Serta kita tidak bisa menentukan atau memilih diri kita untuk lahir dari keluarga bagaimana, menjadi ras apa, suku yang seperti apa, warna kulit yang bagaimana dan lain sebagainya. Kita lahir di dunia ini sudah ditentukan oleh yang maha kuasa, jadi bawaan yang menempel pada kita adalah fitrah dari yang maha kuasa. Kita harus mensyukuri fitrah tersebut dan juga memahami bahwasanya terdapat fitrah-fitrah lain yang terdapat di dunia ini. 

                Jika sudah diketahui bahwasanya fitrah itu ketentuan dari Dzat yang maha esa, maka sikap yang paling bijak adalah memahamkan bahwasanya setiap manusia itu berasal dari Dzat yang sama. Artinya perlu menggeser ajaran tentang ketuhanan (tauhid) yang tadinya dimaknai sebagai keesaan Tuhan, menjadi menyatukan, membuat sesuatu menjadi satu (diambil dari arti tauhid secara bahasa yang berasal bentuk masdar dari fi’il wahhada-ywahhidu). Tauhid tidak hanya mengakui eksistentsi Allah sebagai sentral kebenaran universal tetapi mengkaitkan peran operasional manusia sebagai makhluk pengabdi Allah untuk merealisasikan pandangan superfisial yang terdapat didalam konteks kemanusiaan, sehingga tidak terdapat pemisahan antara Allah dalam dimensi metafisik dan manusia dalam dimensi fisik.

                Murtadha’ Mutahhari mendefinisikan pertama-tama pandangan dunia tauhid bahwa alam semesta ini unipolar dan uniaxial. Pandangan dunia tauhid berarti bahwa hakekat alam semesta ini berasal dari Allah (inna lillah) dan akan kembali kepada-Nya (inna ilaihi raji’un). “kita milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali.” (QS. 2:156) Representasi kekuasaan Allah yang bersifat absolut adalah model tauhid yang menegasikan superioritas manusia atas makhluk warga dunia yang lain. Bagi seorang muslim, hubungan antara Tuhan dan dunia adalah hubungan antara pencipta dan yang diciptakan, jadi hubungan sebab akibat penciptaan. Sehingga kedudukan antara makhluk dunia atau ciptaan yang lainnya ialah sama, yang relatif itu hanyalah hubungan antara makhluk atau ciptaan dengan Sang Pencipta.

                Pengembangan interpretasi dari tauhid ini perlulah menjadi pemahaman ketauhidan baru dalam setiap agama. Memahami tidak adanya superioritas makhluk di atas makhluk yang lain, sehingga terhindar dari problem-problem agama terutama problem rasisme yang sering terjadi di tanah air tercinta ini. Mengerti terdapat banyak perbedaan antara manusia, sehingga dengan tauhid yang baru menjadi perbedaan itu untuk mejadi satu kesatuan, bukan justru membeda-bedakan satu dengan yang lain. Perlulah setiap umat beragama memiliki sudut pandang tauhid yang semacam ini untuk memunculkan semangat tauhid yang terintegrasi dalam semangat pembebasan dan kemerdekaan yang memprakarsai bebarbagai bentuk penentangan terhadap superioritas dan otoritas kekuasaan yang depostik. Sehingga setiap umat manusia mampu merasakan kenyamanan hidup, toleransi antar manusia dan terciptanya perdamaian dalam masyarakat yang majemuk.

 

Author: Fitri Cahyanto